Ibu Ainun Pindah Ke Dimensi Lain

Sudah lama tidak menulis blog, nggak tau kapan terakhir memposting tulisan. O iya kali ini aku akan sedikit menceritakan tentang kisah yg sangat menyayat hati dan kesetian Pak BJ. Habibie terhadap Ibu Ainun, yaitu aku akan menceritakan detik-detik berpulangnya sang ibu negara yaitu Ibu Ainun, istri dari Bapak BJ. Habibie. Sumber aku dalam menulis cerita ini ialah dari buku “MR. CRACK DARI PARE-PARE”. Mungkin cerita ini akan aku bagi menjadi beberapa bagian dikarenakan ceritanya sangat panjang.
Okelah kalo gitu tak perlu berlama-lama lagi. Karna aku sudah tidak tahu mau berkata apalagi


"AINUN PINDAH KE DIMENSI LAIN"

     Waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 pada suatu sore bulan Maret 2010. Rombongan BJ. Habibie sekeluarga yang akan berangkat ke Munchen, Jerman, sudah lengkap di ruangan tunggu VIP Bandara Soekarno-Hatta. Pak Habibie masi terlihat asyik berbincang-bincang dengan Duta Besar Jerman di Jakarta di sisi kiri ruang VIP, sementara Ibu Ainun, keluarga, putra-putri serta cucu berada di sisi kanan ruangan, juga masih asyik bercengkrama. Suasana tampak ceria, penuh canda, tidak ada tanda-tanda kesedihan.

     Tiba waktunya salah seorang petugas melapor bahwa waktu boarding sudah tiba dan rombongan dipersilahkan menuju bus yang akan membawa rombongan tempat parkir pesawat. Sejenak suara hiruk pikuk dan canda terdengar berhenti. Semua rombongan dan pengantar yang memenuhi ruangan VIP beranjak keluar dan bersiap-siap mengucapkan selamat jalan  kepada BJ. Habibie dan Ibu Ainun.

     Satu per satu rombongan keluarga dan pendamping menuju pesawat  melalui pintu detektor. Pak Habibie menghentikan langkah sesaat menunggu Ibu Ainun untuk jalan beriringan menuju bus. Tidak berapa lama, Ibu Ainun tampak melangkah sendiri menuju pintu detektor. Sama sekali tak ada kesan beliau mengidap penyakit, sebagaimana yang ramai dibicarakan saat itu. Tidak ada orang yang berad di sisinya, tidak ada orang yang memapahnya. Ia berjalan santai dan tidak ada beban apa-apa terlihat pada wajahnya.

     Satu per satu pengantar disalaminya. Pak BJ. Habibie terlihat juga sibuk menerima ucapan selamat jalan dari pengantar. Kepada setiap orang ia bisikan lirih, “Doakan ya doakan.”

     Hal seperti ini, tidak biasa terjadi. Tidak ada keceriaan yang tampak pada wajahnya. Saya segera maklum bahwa permintaan Pak Habibie untuk berdoa itu ditujukan untuk Ibu Ainun, istrinya, yang kali ini akan menjalani perawatan di Muenchen.

     Sehari sebelumnya mereka tidak ada rencana keberangkatan pada sore itu menggunakan pesawat Lutftansa langsun ke Muenchen. Pasang suami istri yang rukun ini bahkan sudah merencanakan jauh sebelumnya untuk berangkat ke Singapura kemudian berlayar kebeberapa negara Asia dengan kapal Samudera Queen Victoria dan sekitar beberapa minggu kemudian, baru tiba di Jerman. Tetapi rencana perjalanan yan dijadwalkan setahun sebelumnya itu tiba-tiba “Berantakan”.

     Mengapa tiba-tiba Pak BJ. Habibie meminta Ibu Ainun untuk mengecek kesehatan dengan peralatan MRI pada hari terakhir sebelum berangkat?Mengapa mereka bisa mendapkan tiket pesawat kelas eksekutif pada enam jam sebelum keberangkatan dan bisa berangkat ke Muenchen pada hari itu juga? Tiket pesawat Lutfthansa memang sudah fully booked sejak jauh hari, lalu mengapa saat perwakilan Lutfthansa di Jakarta mengumumkan kebutuhan dua seat untuk penumpang yang salah satunya menderita penyakit akut mereka lansung berempati dan bersedia membatalkan keberangkatan?

     Namun, semuah itu sebuah mukjizat bagi BJ. Habibie karena serentetan faktor kebetulan yang tak bisa terjawab secara rasional jika di adu dengan nalar.

     Pesawat akhirnya tiba di Muenchen lebih cepat dari jadwal rutin. Beberapa jam sebelum tiba, isi tabung oksigen yang membantu pernapasan Ibu Ainun dalam separuh perjalanan dari jakarta telah habis. Kapten pilot mengambil tindakan dengan menambah kecepatan pesawat. Ibu Ainu sudah ditunggu ambulans yang membawanya segera ke rumah sakit.

     Sesudah hari itu, selama satu bulan, keluarga Pak Habibie di Jakarta berada dalam suasana yang tak menentu. Hampir setiap hari berita terkirim dari Muenchen mengabarkan Ibu Ainun sudah menjalani operasi penyakit kanker dan berhasil dengan baik, “tetap doakan” demikian bunyi SMS yang dikirim melalui ponsel Pak Habibie dari Muenchen. Selang beberapa hari, berita dari Muenchen datang dan mengabarkan operasi kedua sudah dilaksanakan, mohon tetap berdoa. Sehari sesudah itu, dikabarkan operasi ketiga harus dilakukan karna sel kanker ditemukan lagi pada bagian yang lain sampai akhirnya dalam satu bulan Ibu Ainun sudah menjalani 12 kali operasi.

     Ternyata menjelang operasi ketiga belas dan saat-saat yang paling memilukan dan memerlukan ketabahan yang luar biasa bagi Pak Habibie, terjadi pada 22 Mei 2010 pukul 17.10 waktu setempat. Ketika itu Pak BJ. Habibie dan semua keluarga berkumpul di ICCU. Suasana hening. Pukul 17.20 ketua tim dokter masuk ke ruangan melangkah ragu-ragu menemui Pak BJ. Habibie. Sang dokter menyampaikan upayanya. Ketika semua usaha manusia, siapa pu dan ahli apa pun, tidak bisa melawan sunatullah dan rekayasa Allah, momen yang sangat dramatis itu tampak oleh Pak Habibie ketika berhadapan dengan tim dokter, sebagai berikut: “Matanya memandang ke mata saya, sambil mengangguk memberikan tanda drtik-detik terakhir Ibu Ainun di dunia kita dan Ibu Ainun sebentar lagi pindah ke alam dan dimensi lain.”

     Isyarat dokter itu segera dipahami Pak BJ. Habibie dengan perasaan getir ia mendekatkan mulut ke telinga istrinya serta membisikan berkali-kali syahadat. Tepat pada pukul 17.30 waktu Muenchen, Ibu Ainun dengan tenang dan damai pindah ke alam dimensi lain di Rumah Sakit Maximillian Universitas Klinikum Gro’harden Muenchen, 22 Mei 2010, karena penyakit kanker dan komplikasi penyakit lainnya.

     Proses perawatan Ibu Ainun sampai kemudian wafat, mencapai kurang lebih dua bulan lamanya. Selama itu pula ketegangan selalu terjadi tidak hanya pada diri Pak Habibie yang sangat mencintai dan menyangai istrinya, tetapi juga bagi keluarga dan handai taulan di Jakarta. Hari demi hari berita  perkembangan kesehatan Ibu Ainun disampaikan ke Jakarta dan pada saat tertentu ketegangan memuncak jika Ibu Ainun akan masuk lagi ke kamar operasi. Selama kurang lebih dua bulan dalam perawatan, Ibu Ainun menjalani tindakan operasi selama 12 kali.

     Pada saat operasi pertama dilakukan, dokter yang mengoperasi Ibu Ainun adalah Profesor Dr. Burges bersama Ibu Profesor Dr. Bruns, masing-masing ahli bedah digestive  atau ahli bedah lambung, usus dan pankreas. Sekitar pukul 18.30 datang langsung dari ruang operasi menemui Pak Habibie yang sedang tidak sabar menunhhu  hasil operasi. Profesor Dr. Burges memperkenalkan Ibu Profesor Dr. Bruns kepada Pak Habibie kemudian menjelaskan hasil operasi. Suasana itu ditulis Pak Habibie dalam Buku “Habibie & Ainun” sbb:
“Waktu Profesor Dr. Burges membuka perut Ainun, ternyata usus besar, lambung dan pankreas sudah dililit dengan tumor ganas atau kanker yang asalnya dari ovarium, walaupun kedua ovarium sudah diambil sekitar 40 tahun yang lalu. Oleh karena itu, rencana operasi untuk mengambil rahim Ainun segera dihentikan karena operasi akan dikonsentrasikan untuk ‘membersihkan’ rongga perut dari kanker. Disini Profesor Dr. Bruns sebagai ahlinya kemudian mengambil alih dan meneruskan operasi. Sebagian usus besar, lambung, pankreas dioperasikan untuk dibersihkan bersamaan dengan pengambilan tumor ganas.

     Kemudian Profesor Dr. Burges menjelaskan. “Sekitar pukul 13.00 kami mendapat masalah, keadaan menjadi kritis karena terjadi pendarahan  besar pada saat dilakukan pembersihan tumor yang melekat di pankreas pasien, yang mengalami krisis karena sewaktu pembersihan di sekitar pankreas. Untung kami berhasil mengatasi krisis ini. Sekarang ibu udah di pindahkan di ruang ICCU dan hanya Prof. Habibie sebagai suami yang diperkenankan menengok Ibu Ainun,” demikian ucapan Ibu Profesor Bruns.

     Kepada saya disampaikan  bahwa kanker ovarium yang diindap Ibu Ainun sudah berada di stadium ke-4, yang memang susah dideteksi sebelumnya, kanker ovarium seperti ini, baru bisa dideteksi ketika kanker itu sudah di stadium ke-3 atau ke-4. Baru pada stadium ke-4, mulai terasa sakit. Sebelumnya tidak akan terasa sakit. Karena itu, mereka berlomba dengan waktu dan kecepatan tumor ganas yang asalnya dari ovarium menyebar kemana-mana.

     Pertanyaan saya adalah: “Mengapa masih ada kanker ovarium sedangkan ovarium Ainun sudah tidak ada lagi sejak 40 tahun yang lalu? Mengapa 40 tahun lalu, seluruh rahim tidak diambil? Berapa besar kemungkian perlombaan itu bisa dimenangkan oleh pasien? Jikalau dimenangkan oleh pasien, berapa lama ia bisa hidup?”.

     Profesor itu menjawab sebagai berikut: “ Semuanya ada di tangan Tuhan. Kami hanya berusaha. Mungkin akar ovarium dari rahim tidak diambil 40 tahun yang lalu, untuk mempertahankan keseimbangan neraca hormon Ibu. Menurut statistik, 35% dapat dimenangkan oleh pasien jika dioperasi. Jika hanya dilakukan kemoterapi tanpa operasi, mungkin akan terlambat. Ternyata usus besar sudah dililit dan sebentar lagi dapat pecah. Jika itu terjadi, akibatnya fatal. Infeksi akan terjadi di seluruh ruang perut yang diatasi. Jika dioperasi dan perlombaan dengan tumor ganas dimenangkan oleh pasien, maka menurut statistik mungkin pasien akan bertahan hidup sampai lima tahun. Namun, semuanya itu terletak pada tangan Tuhan. Anda harus menentukan bersama Ibu Ainun. Anda sekeluarga harus kompak memanjatkan doa untuk Ibu.




Mungkin sampai sini dulu ceritanya In syaa Allah akan aku lanjutkan lagi lain waktu.
Sebelumnya saya ucapkan terima kasih buat kalian yang sudah meluangkan waktunya untuk membaca atau membuka blog saya. Dan saya sangat menerima kritik dan saran dari kalian semuanya agar saya dapat lebih giat lagi belajar dalam menulis blog.
Terima kasih Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saksi

Rugi Dunia dan Akhirat

Selamat Jalan Bulan Ramadhan.